Ada uang pusing (karena rasanya tak cukup saja), tak ada uang lebih pusing. Pergi haji? Punya rumah? Menyekolahkan atau mengkursuskan anak ke lembaga-lembaga pendidikan terbaik? Ah, mimpi kali yeee…dengan uang segini-gininya, bisa jadi apa sih?
Jawabannya, bisa jadi banyak dan berkembang, asal tahu jalannya. Lewat menabungkah? Sayangnya, menurut perencana keuangan Mike Rini, kalau cuma dengan menabung saja
jawabannya adalah tidak. Dana tidak akan berkembang kalau sekedar
ditabung, ditabung dan ditabung. Bahkan, kerugianlah yang akan muncul
bila dana sekadar ditabung. Kenapa? Karena kelebihan yang diperoleh dari
bank (bila menabung di bank) tak cukup untuk mengatasi laju inflasi
yang cenderung jauh lebih tinggi. Apalagi bila menabungnya hanya sekedar
di TABAKAS alias tabungan bawah kasur.
Meski demikian, menabung tetap harus dilakukan. Kenapa? Karena menabung merupakan satu langkah pertama untuk menuju kemandirian finansial atau bahkan kebebasan finansial.
“Kita tetap membutuhkan tabungan sebagai
untuk cadangan dana di saat kondisi darurat. Sakit misalnya, atau
persiapan dana masuk sekolah,” urai partner business development Hijrah
Institut ini di salah satu rubrik tanya jawab keuangan. “Dan tabungan
adalah akses yang paling mudah menuju uang kita, karena mudah
dicairkan,” lanjutnya pada Ummi.
Kapan sebaiknya memulai menabung? Jawabannya adalah mulai sekarang.
Tetapi masalahnya gaji, upah atau honor
saya selalu habis setiap kali di dapat. Tidak ada sisanya untuk
ditabung, begitu kebanyakan orang biasa berkilah.
Itu dia problemnya, sering orang lupa
bahwa menabung adalah kegiatan terencana, yang berarti sepatutnya diberi
alokasi di muka alias masuk dalam anggaran pengeluaran. Jadi kalau ada
anggaran untuk membayar listrik, SPP, bahkan beli pulsa, jangan lupa
untuk mengadakan pula anggaran menabung.
Berapa besarnya? Terserah saja. Syukur
kalau bisa menabung sedikitnya 10 persen dari pendapatan, apapun
istilahnya, gaji bulanan, upah pekanan, honor sesekali, atau laba jualan
setiap hari.
Bagaimana dengan ibu rumahtangga tak
berpenghasilan? Sama saja, sepanjang kita mampu membuat pengeluaran dana
rumah tangga, pastikan kita mampu menyisihkan sebagian dana sebagai
tabungan. Dan untuk itu, satu yang mungkin bisa jadi jawaban adalah:
jangan remehkan tabungan kencleng.
Menabung seratus dua ratus ribu sebulan
mungkin terasa berat. Tetapi, menyisihkan tiga atau lima ribu sehari,
tentu lebih ringan. Dan menetapkan hati untuk mulai menyisihkan
katakanlah lima ribu sehari ke dalam kencleng khusus bisa menjadi
permulaan pengembangan dana yang sangat baik. Syarat pentingnya, rutin
dan konsisten.
Hitung saja, bila lima ribu ini rutin
dilakukan, dalam setahun, setidaknya ada sekitar 1,8 juta rupiah
cadangan dana berhasil disisihkan. Tetapi, bagaimana pengembangannya
kalau dikatakan menabung saja tak akan mengembangkan dana bahkan
berpotensi menjadi rugi?
“Kita perlu melakukan cara penyimpanan
dana yang lebih progresif,” lanjut Mike Rini menjelaskan tahap dua dari
menabung. Dan itu berarti menukar sebagian tabungan kita ke dalam
bentuk-bentuk yang lebih memungkinkan perkembangan meski tidak se-liquid
tabungan uang. Misalnya dengan menyimpan deposito, membeli koin emas,
reksadana, saham, tanah atau properti.
Penjelasannya begini. Dana lima ribu
yang kita tabung secara konsisten di dalam celengan selama katakanlah 15
tahun hanya akan memberi hasil akhir sebesar 27 juta saja yang bisa
jadi sudah tidak terlalu besar lagi artinya pada 15 tahun mendatang.
Disimpan di bank pun tidak terlalu besar pula hasilnya mengingat lebihan
dari bank yang paling-paling berkisar antara 5 hingga 7 persen saja per
tahunnya.
Namun, akan beda hasilnya bila tabungan
lima ribu sehari di dalam kencleng ini dinaikkan kelasnya ke bank setiap
30 hari. Dan sesudah dua tahun separuhnya bisa dibiarkan tetap menjadi
dana cadangan darurat, sementara separuhnya dipindahkan ke dalam bentuk
koin emas. Mengapa emas? Karena meskipun emas memang tidak memberi
pertambahan yang besar pada nilai dana tetapi relatif aman karena
nilainya selalu beriringan dengan perkembangan ekonomi masyarakat dan
cukup liquid pula.
Bila proses ini telah dilakukan
konsisten selama katakanlah lima tahun, tentu menghasilkan tabungan emas
yang cukup banyak, yang siap pula sebagiannya dinaikkan kelasnya ke
dalam bentuk penyimpanan yang lebih progresif, reksadana atau saham.
Proses menyisihkan dana dan
mengubah-ubah bentuk ini bisa terus dilakukan dengan step-step terencana
yang berkesinambungan; menabung di kencleng, memindahkannya ke bank,
mengubah sebagian ke emas dan menaikkan lagi kelasnya dalam bentuk lain
yang kita sukai.
Memang, pilihan penyimpanan dalam bentuk yang lebih progresif akan memunculkan resiko lebih tinggi. “Semakin tinggi return
(hasil atau keuntungan) yang ditawarkan, semakin besar resiko yang
harus kita siap tanggung. Sebagai patokan sederhana saja, untuk segala
kemungkinan return diatas 5% maka resikonya umumnya adalah sekitar 15
hingga 20%,” papar Mike Rini menjelaskan.
Namun, dengan membagi penyimpanan dana
dalam beragam tempat dan bentuk, katakanlah, sebagian dalam bentuk
tabungan atau deposito, sebagian emas, sebagian reksadana dan atau
saham, kita bisa meminimalisasi kerugian yang mungkin terjadi sekaligus
memperbesar kemungkinan memperoleh pengembangan dana.
Kemana lagi dana yang ada bisa dinaikkan
kelasnya? Masih banyak pilihan, membeli tanah, rumah, kios, atau
apartemen. Segala bentuk barang properti in memang tidak memudahkan
pencairan dana setiap saat, namun secara relatif termasuk yang paling
tinggi tingkat pengembangan dananya.
Harga properti umumnya selalu bertambah,
sehingga nilai harta kita pun akan bertambah. Sementara nilai ekonomis
yang bisa didapat dari pemanfaatan properti ini pun tinggi pula, baik
untuk dipakai sendiri yang berarti menghemat biaya tempat tinggal maupun
saat disewakan pada pihak lain dan memberi tambahan pemasukan.
(Sumber www.ummi-)
No comments:
Post a Comment